Parkir Liar dan Premanisme, Penjajahan Modern di Depan Toko Kita

Hari ini kita menyambut kemerdekaan Indonesia yang ke-80. Setiap bulan Agustus kita selalu merayakan kemerdekaan dengan penuh semangat. Bendera merah putih berkibar dengan gagahnya, lomba yang semarak di perumahan, sampai diskon belanja di pusat perbelanjaan. Namun, di balik gegap gempita itu ternyata masih banyak warga yang merasa belum sepenuhnya merdeka.

Di kawasan Mulyosari Surabaya, para pemilik toko dan pelaku usaha kuliner menghadapi kenyataan pahit: pelanggan mereka kerap enggan mampir, bukan karena harga barang atau rasa makanan, melainkan karena pungutan parkir liar yang meresahkan. Ironisnya, setelah 80 tahun kita bebas dari penjajahan asing, kini justru ada penjajahan modern yang dilakukan oleh tukang parkir liar dan oknum tak bertanggung jawab di halaman depan toko kita.

Keresahan Pemilik Usaha di Mulyosari

Di sepanjang Jalan Raya Mulyosari, kita bisa menjumpai banyak toko dan tempat kuliner yang menjadi tempat tujuan bagi warga Surabaya Timur. Mulai dari warung makan, kafe kekinian, hingga toko perlengkapan rumah tangga berjejeran di kawasan ini. Namun, bukannya ramai dan nyaman, para pemilik usaha justru harus menghadapi keluhan yang sama dari pelanggan mereka, yakni parkir yang meresahkan.

Bukan hanya soal tarif, tapi cara pungutannya yang sering bikin jengkel. Ada yang diminta bayar parkir meskipun hanya berhenti sebentar untuk bertanya ketersediaan stok barang atau membeli makanan take away. Malah harga parkir bisa lebih mahal dari harga cemilan yang dibeli. Ada juga pelanggan yang diancam mobilnya akan dilempari batu apabila tidak membayar parkir. Akibatnya, banyak yang akhirnya enggan kembali, memilih tempat lain yang bebas parkir.

Bagi pemilik usaha, kondisi ini tentu sangat meresahkan. Omzet berpotensi turun, citra usaha pun ikut tercoreng. Padahal mereka sudah berusaha keras melakukan promosi dan menghadirkan produk terbaik. Harga sewa toko di kawasan Mulyosari juga tergolong mahal, adanya tukang parkir membuat pelanggan enggan untuk mampir dan membuat target omzet tidak tercapai, keluh salah satu pemilik toko di kawasan ini.

Pada akhirnya, keresahan ini bukan hanya milik pemilik usaha, tapi juga pelanggan yang seharusnya bisa menikmati belanja dan makan dengan tenang.

Pelanggan Ikut Tersandera

Bagi pelanggan, urusan parkir seharusnya menjadi hal kecil yang tidak perlu dipikirkan. Namun di Mulyosari pengalaman itu sering berubah menjadi sesuatu yang membuat jengkel. Saat datang sering kali tidak ada tukang parkir yang membantu menata kendaraan. Tapi ketika pelanggan hendak pergi tiba-tiba muncul tukang parkir yang meminta bayaran. Bahkan untuk sekadar berhenti sebentar di depan toko pun tidak jarang tetap ditarik biaya.

Tidak jarang, pelanggan merasa seperti tersandera. Mereka tidak punya pilihan selain membayar karena kalau menolak bisa berujung tatapan sinis, omelan, atau bahkan ancaman perusakan mobil. Situasi ini menciptakan ketidaknyamanan yang membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum kembali berbelanja atau makan di kawasan ini.

Padahal tujuan utama pelanggan datang ke Mulyosari sederhana: belanja cepat, nongkrong santai atau menikmati makan bersama keluarga. Tapi kenyamanan itu hilang karena bayangan pungutan parkir. Akhirnya bukan hanya pemilik usaha yang rugi. Pelanggan juga kehilangan rasa aman untuk menikmati aktivitas mereka.

Banyak pelanggan kemudian membandingkan daerah Mulyosari dengan kawasan Pakuwon City. Di sana, parkir resmi dikelola dengan rapi dan sebagian besar parkir di kawasan Pakuwon City tidak berbayar. Alhasil pengalaman berbelanja dan makan jadi jauh lebih nyaman. Tidak heran jika sebagian pelanggan memilih berpindah ke kawasan Pakuwon City, meskipun harus menempuh jarak lebih jauh. Mereka lebih memilih ke sana karena adanya parkir gratis yang membuat mereka merasa lebih nyaman.

Penjajahan Modern di Area Publik

Kehadiran parkir liar di Mulyosari bukan hanya perkara uang kecil. Tapi lebih dari itu, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk penjajahan modern yang dialami oleh masyarakat di ruang publik. Pelanggan dipaksa untuk membayar di luar aturan resmi, pemilik usaha juga berpotensi mengalami penurunan omzet karena konsumen enggan datang. Sementara oknum tukang parkir menikmati pajak jalanan tanpa kontribusi yang jelas.

Kondisi ini menciptakan ekosistem yang tidak sehat, ruang publik yang seharusnya menjadi milik bersama berubah menjadi ladang pungutan liar. Jika dibiarkan, lama kelamaan kawasan yang potensial seperti Mulyosari bisa kehilangan daya tariknya. Bahkan kalah bersaing dengan area lain yang lebih tertib dan ramah pengunjung.

Ironisnya semua ini terjadi di depan mata tanpa ada karcis resmi, tanpa transparansi, dan tanpa kepastian. Inilah bentuk penjajahan baru. Bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh sesama anak bangsa yang memeras kenyamanan warga demi kantong pribadi.

Premanisme Berkedok Uang Perlindungan

Para pemilik usaha di Mulyosari tidak hanya menghadapi masalah parkir liar. Tapi juga ada aksi premanisme yang berkedok uang perlindungan yang dilakukan oleh oknum tertentu. Mereka sering mengatasnamakan LSM atau ormas. Lalu mendatangi pemilik usaha dengan dalih memberikan jaminan keamanan.

Pemilik usaha diminta untuk membayar setoran rutin setiap bulan. Alasannya supaya toko tidak diganggu, pelanggan tidak diusik, dan parkir bisa berjalan lancar. Pemilik toko yang menolak untuk membayar kerap mengalami intimidasi.

Bagi pemilik usaha, situasi ini terasa menekan. Di satu sisi mereka ingin fokus melayani pelanggan. Namun di sisi yang lain mereka harus menghadapi beban tambahan berupa pungutan yang tidak ada dasar hukumnya. Kondisi ini menciptakan lingkaran ketakutan yang akhirnya merugikan semua pihak. Sehingga kawasan Mulyosari bisa kehilangan reputasi positifnya.

Padahal Pemkot Surabaya sudah menegaskan bahwa tidak ada satu pun organisasi yang berhak memungut uang keamanan di luar mekanisme resmi. Praktik seperti ini jelas termasuk pungli dan premanisme serta harus segera ditindak tegas agar perekonomian di kawasan ini bisa berkembang dengan baik.

Upaya Wali Kota Surabaya Menertibkan Parkir Liar

Dalam beberapa bulan terakhir, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menunjukkan sikap tegas terhadap praktik parkir liar. Ia turun langsung melakukan sidak ke sejumlah toko modern dan restoran. Dari sidak tersebut ditemukan banyak pelanggaran, mulai dari lahan parkir tanpa juru parkir resmi hingga pungutan liar tanpa izin. Beberapa toko bahkan langsung disegel sebagai bentuk peringatan keras.

Pemkot kemudian mengundang pengusaha ritel modern dan pemilik restoran untuk menyepakati aturan bersama. Hasil kesepakatan tersebut adalah parkir bagi pelanggan harus gratis, namun tetap dijaga oleh juru parkir resmi. Kesepakatan ini dianggap win-win solution karena pelanggan merasa nyaman, pemilik usaha juga tidak kehilangan konsumen, dan juru parkir tetap mendapatkan penghasilan yang layak.

Langkah ini bukan tanpa dasar. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2018, sudah diatur bahwa setiap usaha yang memiliki lahan parkir wajib menyediakan juru parkir resmi dengan identitas dan seragam dari Dinas Perhubungan. Pemilik usaha boleh memilih antara menyediakan parkir gratis atau parkir berbayar dengan tarif transparan. Jika berbayar maka pajak sebesar 10% wajib disetorkan ke Pemkot Surabaya.

Dengan adanya aturan ini, pemerintah daerah ingin menciptakan sistem parkir yang adil: pelanggan terlindungi, pelaku usaha tidak dirugikan, dan juru parkir bekerja dalam mekanisme resmi. Eri Cahyadi juga menegaskan, apabila ada pihak yang memungut uang di luar ketentuan tersebut, baik individu maupun organisasi, itu masuk kategori pungli dan harus segera dilaporkan ke Satpol PP atau kepolisian.

Harapan dan Solusi

Keresahan akibat parkir liar dan aksi premanisme di Mulyosari seharusnya tidak dibiarkan berlarut-larut. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu pusat kuliner dan perdagangan di Surabaya Timur, maka wajar jika pemilik usaha dan pelanggan berharap ada kepastian dan kenyamanan.

Ada beberapa langkah yang bisa menjadi solusi untuk mengatasi parkir liar dan premanisme di Mulyosari:

  1. Pemerintah Kota perlu konsisten menindak parkir liar dan pungli. Sidak dan penyegelan yang sudah dilakukan harus berlanjut, sehingga bisa memberikan efek jera kepada pelanggar.
  2. Pemilik toko dan restoran perlu patuh terhadap aturan parkir resmi. Menyediakan jukir resmi atau bekerja sama dengan Dishub bukan hanya soal kewajiban, tapi juga investasi jangka panjang untuk kenyamanan pelanggan.
  3. Banyak jukir liar sebenarnya hanya mencari nafkah. Dengan difasilitasi menjadi jukir resmi, mereka bisa tetap bekerja dengan penghasilan yang lebih stabil dan tidak lagi bergantung pada pungutan liar.
  4. Pelanggan juga memiliki peran penting. Bila menemukan pungli atau merasa dipaksa membayar, jangan ragu melapor. Suara pelanggan bisa menjadi tekanan tambahan agar kawasan Mulyosari benar-benar tertib.

Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, jukir, dan masyarakat, kawasan Mulyosari bisa kembali menjadi destinasi kuliner dan belanja yang menyenangkan. Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun seharusnya juga berarti kemerdekaan dari pungli dan premanisme di depan toko kita.

Merdeka Bukan Sekadar Simbol, Tapi Rasa Aman di Kehidupan Sehari-hari

Kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus bukan hanya tentang bendera yang berkibar atau upacara yang khidmat. Lebih dari itu, kemerdekaan seharusnya terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari: ketika warga bisa berbelanja tanpa takut dipalak, ketika pemilik usaha bisa melayani pelanggan tanpa dihantui keresahan, dan ketika ruang publik terbebas dari pungutan liar.

Parkir liar dan praktik premanisme di Mulyosari adalah pengingat bahwa perjuangan untuk merdeka belum selesai. Bukan lagi melawan penjajah asing, melainkan melawan mental pungli yang menggerogoti kenyamanan bersama.

Sudah saatnya kita bersuara: pemilik usaha, pelanggan, hingga pemerintah, untuk memastikan kawasan Mulyosari benar-benar merdeka. Merdeka dari parkir liar, merdeka dari pungli, dan merdeka dari ketakutan. Karena kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan, tapi juga bebas untuk hidup dengan aman, nyaman, dan bermartabat di kota sendiri.